Polemik kebijakan penenggelaman kapal illegal
fishing oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan membuat saya
terbahak-bahak. Apalagi polemik ini menyeret petinggi-petinggi pemerintah:
semacam Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Menkeu Sri Mulyani, sampai
Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Buat saya polemik ini bukan hanya konyol tetapi tidak mendidik
publik. Bahkan jika ditelisik mendalam, ada unsur pelecehan terhadap instruksi
Presiden ke-7 RI, Jokowi Widodo.
Pertama, saya sendiri mendukung kebijakan penenggelaman kapal illegal
fishing. Mosok kita mau berunding dengan maling di rumah kita
sendiri? Sudah berapa triliun rupiah kekayaan laut kita yang dikeruk oleh
perampok-perampok asing itu. Jadi tenggelamkan saja semua kapal perampok itu
agar mereka tahu bahwa kita amat serius untuk menjaga kedaulatan laut
Indonesia.
Simak saja baik-baik. Sudah tiga tahun kebijakan penenggelaman
ini berlaku. Tapi toh, masih ada juga perampok asing yang nekad. Lantas,
bagaimana bila kebijakan ini diganti menjadi lebih lunak? Sudah pasti akan
semakin “dimakanlah” Indonesia oleh para bedebah itu. Ibaratnya lunak-lunak
dengan anjing rabies, sudah diampuni masih pula digigitnya kaki kita. Sah-sah
saja memprotes, tapi tawarkanlah solusi yang lebih bernas, yang lebih tegas.
Kedua, penenggelaman kapal illegal
fishing bukan berlangsung kali ini saja. Sudah sejak awal
menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti sudah
bertegas-tegas dengan para perampok di lautan Indonesia. Jadi, kalau menjelang
tahun ke empat pemerintahan Jokowi-JK ini masih gaduh akibat masalah ini
artinya ada “ketidakwarasan” di sini. Bukankah Albert Einstein menyebut:
ketidakwarasan adalah melakukan hal yang sama berulang-ulang tetapi
mengharapkan hasil yang berbeda?
Tiga tahun lebih polemik ini terbit dan tidak selesai hingga saat
ini? Tiga tahun menteri-menteri yang berpolemik itu duduk satu meja dalam rapat
kabinet, tetapi masalah ini coba diselesaikan di luar rapat kabinet. Jadi kalau
ini bukan “ketidakwarasan, harus kita sebut apa?
Ketiga, boleh-boleh saja bicara kebaikan rakyat. Kapal-kapal itu
diserahkan kepada para nelayan. Pertanyaannya, adalah jaminan kapal-kapal ini
akan sampai kepada pihak yang tepat. Maaf-maaf saja, sepengetahuan saya mata
aparat pemerintah itu suka siwer. Lain yang disasar, lain pula yang diberi.
Belum lagi kalau ada yang coba bermain-main. Ilustrasinya
begini. Kapal-kapal itu diserahkan kepada kelompok nelayan yang sudah diajak
berkompromi. Setelah penyerahan, kapal-kapal itu dibeli lagi oleh
perampok-perampok yang kapalnya disita pemerintah. Siapa yang bisa menjamin
scenario busuk seperti ini tidak akan terjadi?
Keempat, dan ini yang terparah, kabinet gaduh. Presiden dan
kabinetnya adalah sebuah tim yang harus bergerak secara sadar,
terkoordinasi, memiliki batasan yang teridentifikasi, dan secara berkesinambungan
mengupayakan pencapaian tujuan bersama. Boleh-boleh saja punya pendapat
berbeda, tetapi arena perang pendapat itu bukan di ranah publik, melainkan di
rapat kabinet. Di sanalah urusan tetek-bengek kabinet dibahas bersama.
Jadi kalau kemudian Menko Maritim dan SDA Luhut Binsar
Pandjaitan, Wapres Jusuf Kalla dan Menkeu Sri Mulyani mengritik kebijakan
Menteri Susi Pudjiastuti secara frontal di aras media, tentu kita jadi
bertanya-tanya. Pada tahap awal ini adalah perihal kesolidadan “tim”
pemerintah. Tetapi pada tahap selanjutnya ini juga bisa dipandang sebagai
pelecehan terhadap Presiden Jokowi. Pasalnya, Jokowi sudah berulang-ulang
menyebut kabinet jangan gaduh, tetapi berulang-ulang pula peringatan Jokowi ini
diabaikan.
Intinya, saya pikir kebijakan penenggelaman kapal illegal
fishing perlu dipandang dengan kacamata kewarasan anak bangsa, dalam kacamata
kemerdekaan 100%. Biarkan ini menjadi debat yang sehat di aras public.
Sementara menteri-menteri yang terkait dengan kebijakan Menteri Susi, silakan
balik ke kandang, bahas ini di dalam rapat cabinet. Kecuali mereka hanya
menganggap instruksi presiden tak ubahnya peluit tukang parkir yang bisa
diabaikan.