Minggu, 21 Februari 2016

Membaca Sejarah Pahlawan


Konon para pahlawan adalah mata air keteladanan. Karena itu untuk melestarikan sosok dan nilai para pahlawan, sekaligus untuk mewariskannya kepada generasi muda, salah satu cara yang dilakukan adalah menuliskan buku biografinya. Sayangnya penulisan buku biografi pahlawan rentan dengan intervensi, manipulasi, dan distorsi. Seringkali untuk menegakan nilai tertentu, buku biografi sengaja disusun bukan “apa adanya” tetapi “ada apanya”, alias sesuai dengan keinginan si pemesan.

Ambil contoh semasa rezim Orde Lama yang mendirikan Lembaga Sejarah dan Antropologi di tahun 1958, sebagai instrument untuk publikasi pahlawan yang salah satunya dengan membuat buku biografi para pahlawan. Pemerintah Suharto melanjutkan dengan meluncurkan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional di tahun 1979. Catatan Klaus H. Schreiner, pada tahun 1983 lembaga itu telah menerbitkan 73 biografi pahlawan.

Buku biografi versi penguasa ini pada akhirnya menemukan lawannya. Pertama, buku-buku biografi yang ditulis oleh mereka yang independen, tidak berdiri di bawah ketiak penguasa. Ambil contoh, M. Balfas menulis Dr. Tjiptomangunkusumo, Hazil Tanzil menulis Teuku Umar dan Cut Nya Din, Matu Mona menulis H. Husni Thamrin dan W.R. Soepratman, Pramoedya Ananta Toer menulis Panggil Aku Kartini Saja, dan lain-lain.