Indonesia patut gelisah. Belum genap satu setengah
bulan dari tahun 2018, negeri kita sudah didera kasus-kasus intoleransi. Bukan
cuma rumah ibadah yang diserang, tapi juga tokoh-tokoh agama. Ada pula korban
jiwanya. Bayangkan, terhitung sejak 27 Januari 2018-11 Februari 2018—dalam
tempo dua minggu sudah viral 6 kasus intorelansi yang 5 diantaranya tergolong berat.
Jumlah ini dipastikan akan meningkat apabila yang beredar di group chating kita
masukan juga. Intinya: betapa masifnya?
Sulit rasanya menilai kasus-kasus intorelansi ini berdiri
sendiri. Tidak logis rasanya menimbang keharmonisan umat beragama di Indonesia
selama ini tidak parah-parah amat. Bangsa ini sudah lama meninggalkan Ambon dan
Sampit —saya belum pernah ada membaca sampai pada tingkat bunuh-membunuh pasca
periodesasi kerusuhan itu. Tetapi sekarang, mendadak saja menyeruak seperti
asap beracun.
Padahal kita sama-sama paham bahwa tindakan
penyerangan dan juga kekerasan bukanlah bagian dari ajaran agama dan keyakinan
apapun. Apalagi Islam! Islam mengecam setiap tindakan kekerasan. Kita mengecam
keras tindakan tersebut sebagai bentuk kebiadaban yang tidak bisa ditoleransi.
Segala tindakan intoleransi tidak diberi tempat, tetapi toh ia tetap tercatat
hadir dan mewarnai tata kehidupan masyarakat.