Jumat, 09 Desember 2016

KPK, Jangan Lupakan Koruptor BLBI! Please!


Besok adalah Hari Antikorupsi Internasional, barangkali karenanya saya kemudian teringat perihal Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI). Kita tentu mengapresiasi langkah Jokowi dan aparat hukumnya untuk mengusut tuntas kasus-kasus korupsi. Tetapi, kasus-kasus itu hanya ibarat ikan kakap jika dibanding BLBI yang sebesar paus. Dalam sejarah kasus korupsi di Indonesia, BLBI adalah yang terbesar.

BLBI adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan BI kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krismon 1998. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada bulan Desember 1998, BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.

Menurut Manajer Advokasi-Investigasi FITRA Apung Widadi, kerugian kasus BLBI yang semula bernilai Rp 650 triliun pada 1998 terus membengkak hingga Rp 2.000 triliun pada 2015. Hingga kini, kerugian negara akibat korupsi ini masih menjadi beban bagi negara dan masyarakat. Bahkan, kerugian diprediksi masih harus ditanggung oleh negara hingga 2043. Kejahatan ini dia nilai sebagai penyebab defisit yang berujung pada ketergantungan pada hutang luar negeri.

Rabu, 02 Maret 2016

(Review Novel) Pecinta Pacar Merah, Jangan Baca Tan!


Judul tulisan saya ini serius. Jika Anda Pecinta Pacar Merah Indonesia, roman politik karya Matu Mona yang mengisahkan petualangan Tan Malaka, sebaiknya jangan baca Tan : Sebuah Novel karya Hendri Teja. Jika nekad, maka Anda akan menerima tamparan kuat melalui aksi-aksi mempermalukan Bapak penggurat konsep Republik Indonesia yang pertama ini. Pada Tan, kelegendarisan Tan Malaka dikoyak-moyak.
Lewat literatur Tan Malaka, baik kumpulan gagasan, analisis kehidupan, sampai fiksi – sekian lama publik disuguhkan heroism perjuangan, misterius jejak langkah, dan tragedi kematiannya. Tiga hal ini yang membentuk Tan Malaka sebagai sosok legendaris di benak publik. Apalagi jika sempat membaca roman Pacar Merah Indonesia, maka kelegendarisan Tan Malaka akan bertambah lewat penisbatkan kelihaian tiada tanding berikut ilmu kesaktian tiada lawan.
Nah! Hal-hal serupa Pacar Merah Indonesia ini tidak ada dalam Tan. Bahkan dalam banyak sisi, Tan seolah-olah memperolok-olok sosok sang Pacar Merah Indonesia. Serius! Tan Malaka dalam Tan, digambarkan sebagai sosok peragu, minder, dan gagap di hadapan wanita. Biar saya tukilkan sedikit isi novel ini :
“Aku tertunduk, kemudian kulihat ada pensil dan buku catatan menyembul dari kantong rompinya. Aku salah mengira. Lelaki itu bukan seorang pejabat penting di sekolah, paling-paling pekerjaannya hanya staf administrasi. Celakanya, aku tetap saja minder, tak dapat berkeras di hadapannya.”

Minggu, 21 Februari 2016

Membaca Sejarah Pahlawan


Konon para pahlawan adalah mata air keteladanan. Karena itu untuk melestarikan sosok dan nilai para pahlawan, sekaligus untuk mewariskannya kepada generasi muda, salah satu cara yang dilakukan adalah menuliskan buku biografinya. Sayangnya penulisan buku biografi pahlawan rentan dengan intervensi, manipulasi, dan distorsi. Seringkali untuk menegakan nilai tertentu, buku biografi sengaja disusun bukan “apa adanya” tetapi “ada apanya”, alias sesuai dengan keinginan si pemesan.

Ambil contoh semasa rezim Orde Lama yang mendirikan Lembaga Sejarah dan Antropologi di tahun 1958, sebagai instrument untuk publikasi pahlawan yang salah satunya dengan membuat buku biografi para pahlawan. Pemerintah Suharto melanjutkan dengan meluncurkan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional di tahun 1979. Catatan Klaus H. Schreiner, pada tahun 1983 lembaga itu telah menerbitkan 73 biografi pahlawan.

Buku biografi versi penguasa ini pada akhirnya menemukan lawannya. Pertama, buku-buku biografi yang ditulis oleh mereka yang independen, tidak berdiri di bawah ketiak penguasa. Ambil contoh, M. Balfas menulis Dr. Tjiptomangunkusumo, Hazil Tanzil menulis Teuku Umar dan Cut Nya Din, Matu Mona menulis H. Husni Thamrin dan W.R. Soepratman, Pramoedya Ananta Toer menulis Panggil Aku Kartini Saja, dan lain-lain.