Rabu, 14 Februari 2018

Tahun Politik Menjelang, Waspada Provokasi Kasus Intorelansi


Indonesia patut gelisah. Belum genap satu setengah bulan dari tahun 2018, negeri kita sudah didera kasus-kasus intoleransi. Bukan cuma rumah ibadah yang diserang, tapi juga tokoh-tokoh agama. Ada pula korban jiwanya. Bayangkan, terhitung sejak 27 Januari 2018-11 Februari 2018—dalam tempo dua minggu sudah viral 6 kasus intorelansi yang 5 diantaranya tergolong berat. Jumlah ini dipastikan akan meningkat apabila yang beredar di group chating kita masukan juga. Intinya: betapa masifnya?

Sulit rasanya menilai kasus-kasus intorelansi ini berdiri sendiri. Tidak logis rasanya menimbang keharmonisan umat beragama di Indonesia selama ini tidak parah-parah amat. Bangsa ini sudah lama meninggalkan Ambon dan Sampit —saya belum pernah ada membaca sampai pada tingkat bunuh-membunuh pasca periodesasi kerusuhan itu. Tetapi sekarang, mendadak saja menyeruak seperti asap beracun.
Padahal kita sama-sama paham bahwa tindakan penyerangan dan juga kekerasan bukanlah bagian dari ajaran agama dan keyakinan apapun. Apalagi Islam! Islam mengecam setiap tindakan kekerasan. Kita mengecam keras tindakan tersebut sebagai bentuk kebiadaban yang tidak bisa ditoleransi. Segala tindakan intoleransi tidak diberi tempat, tetapi toh ia tetap tercatat hadir dan mewarnai tata kehidupan masyarakat.

Senin, 05 Februari 2018

Cuci Tangan Ala PAN Pasca Tersangkanya Zumi Zola


Miris hati saya membaca tanggapan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, atas status tersangka yang kini disandang Gubernur Jambi, Zumi Zola. Kita sama-sama tahu Zumi Zola adalah Ketua DPW PAN Jambi yang terjerat kasus dugaan korupsi RAPBD Provinsi Jambi tahun 2018.
Kecuali terkejut, Zulkifli juga menyebut perkara gaji kepala daerah yang kecil—cuma Rp 6.6 juta katanya. Padahal untuk maju di pilkada, seseorang membutuhkan modal yang sangat besar. Melalui tanggapan ini, terkesan Zulkifli—yang juga adalah Ketua MPR—hendak membangun narasi korupsi kepala daerah adalah wajar sebab gaji mereka kecil sementara modal pilkadanya amat besar.
Dari sini kita bisa membaca ada kesan rasionalitas yang dikemukakan untuk membenarkan perilaku korup. Ini tak ubahnya istilah “apes” yang juga tren apabila ada pejabat yang terciduk. Maksudnya perilaku korup itu wajar saja—salah, tapi wajar saja—dan apabila ada pejabat yang terciduk, ya sedang sial saja.
Bukankah ini pertanda ada moralitas yang sedang jungkir-balik? Kita tahu itu adalah kesalahan, tapi karena banyak yang melakukan, ya dilakukan juga. Sebuah dalih dari perilaku tak bermoral.

Rabu, 31 Januari 2018

Kesombongan Edy Rahmayadi di Pilgub Sumut

Sombong atau tinggi hati merupakan salah satu sifat yang tercela. Sejak bocah kita selalu dididik untuk menjauhi sifat sombong. Biasanya nasihat ini juga diikuti dengan cerita diusirnya iblis dari surga karena kesombongannya kepada Nabi Adam.
Dalam dunia politik, utamanya menjelang kontestasi Pilkada seperti sekarang, sikap sombong kerapkali dijadikan taktik untuk mengembosi semangat pihak lawan. Dengan masifnya perang urat syaraf di media sosial, taktik sombong dimanfaatkan untuk membangun propaganda bahwa potensi kemenangan pihak lawan hampir-hampir mustahil.
Taktik ini tentu terkait dengan kultur masyarakat Indonesia yang cenderung suka pada pemenang, ingin berada bersama para pemenang. Sehingga mereka yang potensi menangnya paling besar cenderung lebih mudah meraup dukungan publik.
Taktik sombong ini kita temukan dari pernyataan bacagub Sumatera Utara, Edy Rahmayadi. Dia tampil begitu percaya diri untuk memenangkan Pilgub Sumut Juni mendatang. Dukungan enam partai jadi basisnya awalnya untuk mengklaim kemenangan; basis yang prematur tentu saja

Selasa, 16 Januari 2018

Polemik Penenggelaman Kapal, Satu Pelecehan terhadap Jokowi?


Polemik kebijakan penenggelaman kapal illegal fishing oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan membuat saya terbahak-bahak. Apalagi polemik ini menyeret petinggi-petinggi pemerintah: semacam Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Menkeu Sri Mulyani, sampai Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Buat saya polemik ini bukan hanya konyol tetapi tidak mendidik publik. Bahkan jika ditelisik mendalam, ada unsur pelecehan terhadap instruksi Presiden ke-7 RI, Jokowi Widodo.

Pertama, saya sendiri mendukung kebijakan penenggelaman kapal illegal fishing. Mosok kita mau berunding dengan maling di rumah kita sendiri? Sudah berapa triliun rupiah kekayaan laut kita yang dikeruk oleh perampok-perampok asing itu. Jadi tenggelamkan saja semua kapal perampok itu agar mereka tahu bahwa kita amat serius untuk menjaga kedaulatan laut Indonesia.

Simak saja baik-baik. Sudah tiga tahun kebijakan penenggelaman ini berlaku. Tapi toh, masih ada juga perampok asing yang nekad. Lantas, bagaimana bila kebijakan ini diganti menjadi lebih lunak? Sudah pasti akan semakin “dimakanlah” Indonesia oleh para bedebah itu. Ibaratnya lunak-lunak dengan anjing rabies, sudah diampuni masih pula digigitnya kaki kita. Sah-sah saja memprotes, tapi tawarkanlah solusi yang lebih bernas, yang lebih tegas.

Kedua, penenggelaman kapal illegal fishing bukan berlangsung kali ini saja. Sudah sejak awal menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti sudah bertegas-tegas dengan para perampok di lautan Indonesia. Jadi, kalau menjelang tahun ke empat pemerintahan Jokowi-JK ini masih gaduh akibat masalah ini artinya ada “ketidakwarasan” di sini. Bukankah Albert Einstein menyebut: ketidakwarasan adalah melakukan hal yang sama berulang-ulang tetapi mengharapkan hasil yang berbeda?

Tiga tahun lebih polemik ini terbit dan tidak selesai hingga saat ini? Tiga tahun menteri-menteri yang berpolemik itu duduk satu meja dalam rapat kabinet, tetapi masalah ini coba diselesaikan di luar rapat kabinet. Jadi kalau ini bukan “ketidakwarasan, harus kita sebut apa?

Ketiga, boleh-boleh saja bicara kebaikan rakyat. Kapal-kapal itu diserahkan kepada para nelayan. Pertanyaannya, adalah jaminan kapal-kapal ini akan sampai kepada pihak yang tepat. Maaf-maaf saja, sepengetahuan saya mata aparat pemerintah itu suka siwer. Lain yang disasar, lain pula yang diberi.
Belum lagi kalau ada yang coba bermain-main. Ilustrasinya begini. Kapal-kapal itu diserahkan kepada kelompok nelayan yang sudah diajak berkompromi. Setelah penyerahan, kapal-kapal itu dibeli lagi oleh perampok-perampok yang kapalnya disita pemerintah. Siapa yang bisa menjamin scenario busuk seperti ini tidak akan terjadi?

Keempat, dan ini yang terparah, kabinet gaduh. Presiden dan kabinetnya adalah sebuah tim yang harus bergerak secara sadar, terkoordinasi, memiliki batasan yang teridentifikasi, dan secara berkesinambungan mengupayakan pencapaian tujuan bersama. Boleh-boleh saja punya pendapat berbeda, tetapi arena perang pendapat itu bukan di ranah publik, melainkan di rapat kabinet. Di sanalah urusan tetek-bengek kabinet dibahas bersama.

Jadi kalau kemudian Menko Maritim dan SDA Luhut Binsar Pandjaitan, Wapres Jusuf Kalla dan Menkeu Sri Mulyani mengritik kebijakan Menteri Susi Pudjiastuti secara frontal di aras media, tentu kita jadi bertanya-tanya. Pada tahap awal ini adalah perihal kesolidadan “tim” pemerintah. Tetapi pada tahap selanjutnya ini juga bisa dipandang sebagai pelecehan terhadap Presiden Jokowi. Pasalnya, Jokowi sudah berulang-ulang menyebut kabinet jangan gaduh, tetapi berulang-ulang pula peringatan Jokowi ini diabaikan.

Intinya, saya pikir kebijakan penenggelaman kapal illegal fishing perlu dipandang dengan kacamata kewarasan anak bangsa, dalam kacamata kemerdekaan 100%. Biarkan ini menjadi debat yang sehat di aras public. Sementara menteri-menteri yang terkait dengan kebijakan Menteri Susi, silakan balik ke kandang, bahas ini di dalam rapat cabinet. Kecuali mereka hanya menganggap instruksi presiden tak ubahnya peluit tukang parkir yang bisa diabaikan.


pernah dimuat di politiktoday