Kamis, 20 April 2017

Negeri Drama yang Menyalahkan Masa Lalu


Sudah berkian bulan ini saya memiliki hobi mengumpat. Barangkali hal ini akibat tayangan televisi dan media sosial yang melulu diramaikan politik, SARA, kegaduhan DPR dan DPD. Drama politik ini sering lebih ciamik ketimbang FTV di pagi hari yang membuat saya mual. Sepertinya, para politisi ini memiliki bakat menjadi aktor drama Korea. Jangan-jangan, mereka juga seperti saya, seorang ibu rumah tangga yang tergila-gila drama Korea?

Perlu dicatat, drama korea tidak melulu berefek negatif. Ada hal-hal yang bisa dipelajari dalam drama korea. Setiap kali menonton drama Korea, saya membayangkan DKI Jakarta akan secanggih itu. Ke mana-mana naik transportasi umum, bisa jalan kaki di trotoar, banyak bangunan fenomenal, banyak taman untuk sosialisasi para warganya, punya rusun untuk masyarakat menengah ke bawah yang fasilitasnya tidak jauh-jauh amat dari apartemen para the have. Dalam drama Korea orang miskin tidak terkesan miskin-miskin amat. Desain smart city yang sepertinya telah menjadi pembelajaran bagi para pengambil kebijakan.

Tetapi, smart city itu pasti tidak datang ujug-ujug. Saya yakin ada sesuatu di balik ciamiknya smart city. Pertanyaannya, apakah drama  mencapai keciamikan di Korea dan di Indonesia sama? Karena, demi mengejar keciamikan itu elit-elit di Jakarta juga bermain drama. Penggusuran demi penggusuran terhadap orang miskin di DKI Jakarta membuat orang-orang menangis, serupa sewaktu menonton drama Korea. Bedanya, drma Korea hanya membuat perut mual sesaat, sementara drama penggusuran ini membuat orang miskin bertambah miskin.


Dalam drama Korea segenap dialog aktor dan terjemahannya sudah ditata apik. Berbeda dengan negeri kita. Bisa-bisanya salah ketik (saltik) menjadi kesalahan yang merata di lembaga pemerintahan. Staff sekretariat presiden saltik kepanjangan BIN ditulis Badan Intelijen Nasional. Ada pula saltik prasasti kereta cepat yang ditandatangani Jokowi di mana pembangunan ditulis pembagunan, atau undangan untuk Komisi Perlindungan Korupsi.

Kelihatannya sepele memang, tetapi saltik kepanjangan putusan Mahkamah Agung di mana DPD menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah menyebabkan kisruh dalam sidang paripurna DPD.  Terus-terang saya gregetan dengan saltik ini, kok bisa-bisanya staff pemerintahan kalah teliti dari pekerja film Korea?

Saya juga tergoda untuk menilai staff kejaksaan agak baper dengan drama Korea, sampai ada drama penundaan sidang tuntutan Ahok gara-gara berkas belum selesai diketik. Padahal, kalau tahu begitu, saya sukarela mengetikan agar persidangan itu tidak semakin lama membuat warga Jakarta bersitegang. Bagaimana pula dengan drama penyiraman air keras Novel Baswedan yang ditarik gara-gara online shop sang istri. Sulit dipercaya memang. Setidak mungkin MA melantik pimpinan DPD yang proses pemilihannya mengangkangi putusan MA. Tetapi, begitu realitasnya. Persis drama Korea.

Ilustrasi drama ini sengaja saya munculkan sebab enggan mengakui mengejalanya tuna etika,  tuna moralitas, dan tuna kompetensi di kalangan penyelenggara negara. Bagaimana saya bisa meyakini ada seorang kepala daerah yang siap membunuh 2000 orang yang menentang dirinya dan membahayakan 10 juta orang. Bukankah Indonesia ini negara hukum, dan frasa bunuh-membunuh demi kebaikan bukanlah budaya orang Timur? Apakah saya harus membenarkan bahwa telah terjadi pembiaran kelemahan dari sisi administratif dalam penyelenggaraan pemerintah sehingga menumpuk-numpuk dan tinggal menunggu waktu meledak?

Jadi, sebagai mekanisme pertahanan psikologis saya melakukan penyangkalan; karena jika tidak melakukannya, barangkali saya akan stress berat. Saya bersikeras menyangkal meskipun berlimpah bukti-bukti. Jangan katakan saya kekanak-kanakan. Gejala ini juga banyak warga negara Indonesia yang muak dengan aksi-aksi drama ala penyelengara negara. Bahkan, rezim kali ini lebih parah lagi. Penyangkalan yang saya lakukan masih bersifat sederhana, paling jauh cuma minimisasi; mengakui fakta tetapi menyangkal keseriusannya yang bersifat kombinasi penolakan dan rasionalisasi.

Sebaliknya, pemerintah sudah masuk ke tahap proyeksi. Pemerintah mengakui fakta dan keseriusannya, tetapi menyangkal bertanggungjawab dengan cara menyalahkan pemerintah di masa lalu. Jadi, kalau Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terus-terusan diserang, ya wajar saja. Karena ini adalah mekanisme penyangkalan pemerintah di hadapan rakyatnya. Intinya, semua salah SBY! Lalu para buzzer dan spin doctor pendukung pemerintah pun langsung membuka laptopnya. lantas, drama Korea ala politisi Indonesia terjadi lagi, dan lagi.

politiktoday

Tidak ada komentar:

Posting Komentar