Kamis, 14 Desember 2017

(Review Novel) Tan : Gerilya Bawah Tanah


Judul : Tan : Gerilya Bawah Tanah (Trilogi Tan Malaka 2)
Pengarang : Hendri Teja
Penerbit : Javanica
Terbit : November 2017
Halaman : 507 halaman
Berat Buku : 500 gr

Saya senantiasa yakin jika kita akan semakin muda memahami kejadian hari ini dengan cara memahami kejadian di masa lampau. Novel ini salah satunya. Novel ini mengisahkan perjalanan Tan Malaka, salah satu tokoh yang paling berpengaruh (selain Soekarno, Hatta, dan Sjahrir.) pada zaman perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Tidak keseluruhan memang, melainkan pada periode 1926-1927, yakni sesudah pemberontakan rakyat.

Tan Malaka dilupakan oleh bangsa Indonesia sejak era Orde Baru. Jujur saja, hampir tidak saya kenali sosok Tan Malaka sampai akhirnya mengecap dunia perguruan tinggi. Siapa sangka bahwa sosok ini bukan cuma tenar lantaran label Partai Komunisnya. Tan Malaka lebih besar dari itu.

Kamis, 30 November 2017

Rindu Kami Kepada Ibu Ani Yudhoyono


Sosok Ibu Negara memang memiliki karakter masing-masing. Mulai dari Ibu Fatmawati, Ibu Negara era Sukarno, sampai Iriana Jokowi, Ibu Negara era pemerintahan Jokowi, punya ciri khas masing-masing. Namun, satu yang paling berkesan bagi saya adalah masa-masa saat Ibu Ani Yudhoyono menjadi Ibu Negara Indonesia.

Menjadi Ibu Negara bukan berarti Ibu Ani cuma sekadar mendampingi Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ibu Ani punya seabrek kegiatan sendiri, utamanya kegiatan sosial yang bertemakan pemberdayaan perempuan Indonesia. Dalam melaksanakan aktivitas sosialnya Ibu Ani bersama-sama para istri Menteri Kabinet Indonesia Bersatu membentuk suatu perkumpulan dengan nama Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB). Tujuannya untuk membantu masyarakat, terutama kaum perempuan dan anak-anak yang kurang beruntung.

Inisiatif  dan upaya Ibu Ani ini telah menjadi menjadi satu kekuatan transformatif yang memiliki efek ganda atas peningkatan literasi masyarakat, pendidikan perempuan dan anak. Dengan program-programnya itu Ibu Ani turut mendorong perempuan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan untuk menciptakan peluang baru dalam kehidupan.

Selasa, 21 November 2017

Terimakasih Pak SBY


Kasus Setya Novanto adalah ironis bagi bangsa Indonesia. Hiruk-pikuk ini bukan hanya di tanah air, bahkan media-media internasional pun turut menyiarkan drama proses hukum Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Partai Golkar ini. (baca: media asing menertawakan setya novanto)

Namun, di tengah hiruk-pikuk itu, rupanya ada satu kabar gembira: Indonesia dapat trofi The Global Champion of Disaster Risk Reduction dari PBB. Memang ini kabar lama, kejadiannya tepat 6 tahun lalu. Serah terimanya dilakukan oleh mantan Sekjen PBB Ban Ki-moon kepada mantan Presiden RI SBY.

Kabar ini muncul begitu saja di lini masa Facebook saya. Tepatnya dari akun Fanpage Facebook SBY yang belakangan ini gencar menyiarkan kolom #SBYMingguIni.

Selasa, 01 Agustus 2017

SBY-Prabowo Bertemu, Mengapa SMRC Sakit Perut?


Pernyataan peneliti Saiful Mujani Research dan Consulting (SMRC) Sirojudin Abbas menjadi kelakar paling garing pada akhir pekan ini. Pertemuan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto ditanggapinya secara tendensius. Sampai-sampai, ia berkesimpulan bahwa SBY mustahil mendukung Prabowo pada Pilpres 2019 mendatang.

Ada beberapa kelemahan dari pendapat Sirojudin. Pertama, ia menilai SBY mustahil mendukung Prabowo pada Pilpres 2019 karena faktor 'sejarah' militer. Sirojudin memfitnah SBY turut memecat Prabowo dari TNI. Di sini terang kegagapan Sirojudin dalam memahami peraturan organisasi militer.

Padahal keputusan pemberhentian Prabowo mengacu pada keputusan institusi, yakni TNI Angkatan Darat. Sebagai Kasospol TNI, SBY terang tidak berwenang merekomendasikan apalagi membuat keputusan dalam Dewan Kehormatan Perwira (DKP) karena sifatnya institusional.

Jumat, 05 Mei 2017

Tarif Listrik, Timses Pilpres dan Duit Proyek Mercusuar


Tarif Dasar Listrik (TDL) golongan 900 VA kembali naik per 1 Mei 2017 kemarin. Kenaikannya gila-gilaan, nyaris 100 % jika dibandingkan dengan TDL per Januari Rp 774 per KWh dan sekarang mencapai Rp1.352 per KWh.

Sebelumnya, Menteri ESDM Ignasius Jonan pernah menyebut bahwa rata-rata biaya pokok listrik turun. Dari Rp 998 per KWh pada 2015 menjadi Rp 983 per kWh pada 2016. Targetnya, pada tahun ini biaya listrik turun lagi ke angka Rp 950 per kWh. Dengan membandingkan keduanya, kita bisa menyimpulkan bahwa masyarakat Indonesia pengguna TDL golongan 900 VA sudah membayar di atas harga produksi listrik PLN.

Ada beberapa poin penting terkait kenaikan TDL jilid II ini. Pertama, beban hidup masyarakat akan meningkat. Bank Indonesia boleh saja berdalih kenaikan TDL hanya akan mendorong inflasi sesaat, tetapi dampaknya tetap bersifat negatif terhadap perekonomian, khususnya pelaku usaha mikro.

Jumat, 28 April 2017

Mengulik Ahok Si Finding Nemo


Menarik mencermati nota pembelaan Finding Nemo yang dibacakan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dalam persidangan dugaan penodaan agama kemarin. Ahok mengibaratkan dirinya sebagai Nemo, ikan badut mungil, yang menginspirasi ikan-ikan besar yang terjebak jaring nelayan. Berkat arahan Nemo, ikan-ikan besar itu bisa kompak berenang ke bawah, dan akhirnya tiang penyanggah jaringnya patah.

Adegan ini menjadi ilustrasi Ahok untuk menjelaskan apa yang dilakukannya selama memerintah di DKI Jakarta. Ahok mengaku terkadang sekelompok orang di negeri ini memang salah arah, sehingga korupsi merajalela, anggaran dimainkan. Sehingga, mau tak mau, Ahok harus teriak agar salah arah itu terhenti. Agar pembangunan terhadap rakyat dapat terus berjalan.

Sebagai seorang ibu rumah tangga, saya kerap menjadikan film Finding Nemo sebagai bahan pembelajaran bagi anak saya. Dan karenanya, saya mual dengan ilustrasi ini. Saya pikir ilustrasi ini lebay tak ketulungan, dan maaf saja, bertolakbelakang dengan apa yang Ahok lakukan.

Senin, 24 April 2017

Kartini, Rakus dan Mega Korupsi E-KTP


Apa kaitan antara Raden Ajeng Kartini dan mega korupsi e-KTP? Tidak ada kecuali saling meniadakan. Kartini adalah pahlawan nasional, sementara mega korupsi e-KTP adalah kejahatan luar biasa. Sehingga secara logika, Kartini pasti menolak mega korupsi e-KTP.

Penolakan Kartini terhadap korupsi oleh pejabat negara pada zamannya tergurat jelas dalam suratnya pada sahabat penanya, Estella Zeehandelar, di  Belanda, 12 Januari 1900.

"Kejahatan yang memang ada atau lebih baik yang merajalela ialah hal menerima hadiah yang saya anggap sama jahat dan hinanya dengan merampas barang-barang milik rakyat kecil.”

Tetapi, rupanya korupsi di zaman Kartini lebih manusiawi ketimbang korupsi di zaman sekarang. Korupsi di era Kartini ditujukan guna mencukupi kehidupan akibat digaji kecil oleh pemerintah kolonial Belanda. Begitu kecilnya gaji mereka sehingga Kartini menyebut:
“hampir merupakan suatu keajaiban bagaimana mereka mencukupi keperluan hidup dengan gaji yang sedikit itu.”

Kamis, 20 April 2017

Negeri Drama yang Menyalahkan Masa Lalu


Sudah berkian bulan ini saya memiliki hobi mengumpat. Barangkali hal ini akibat tayangan televisi dan media sosial yang melulu diramaikan politik, SARA, kegaduhan DPR dan DPD. Drama politik ini sering lebih ciamik ketimbang FTV di pagi hari yang membuat saya mual. Sepertinya, para politisi ini memiliki bakat menjadi aktor drama Korea. Jangan-jangan, mereka juga seperti saya, seorang ibu rumah tangga yang tergila-gila drama Korea?

Perlu dicatat, drama korea tidak melulu berefek negatif. Ada hal-hal yang bisa dipelajari dalam drama korea. Setiap kali menonton drama Korea, saya membayangkan DKI Jakarta akan secanggih itu. Ke mana-mana naik transportasi umum, bisa jalan kaki di trotoar, banyak bangunan fenomenal, banyak taman untuk sosialisasi para warganya, punya rusun untuk masyarakat menengah ke bawah yang fasilitasnya tidak jauh-jauh amat dari apartemen para the have. Dalam drama Korea orang miskin tidak terkesan miskin-miskin amat. Desain smart city yang sepertinya telah menjadi pembelajaran bagi para pengambil kebijakan.

Tetapi, smart city itu pasti tidak datang ujug-ujug. Saya yakin ada sesuatu di balik ciamiknya smart city. Pertanyaannya, apakah drama  mencapai keciamikan di Korea dan di Indonesia sama? Karena, demi mengejar keciamikan itu elit-elit di Jakarta juga bermain drama. Penggusuran demi penggusuran terhadap orang miskin di DKI Jakarta membuat orang-orang menangis, serupa sewaktu menonton drama Korea. Bedanya, drma Korea hanya membuat perut mual sesaat, sementara drama penggusuran ini membuat orang miskin bertambah miskin.

Jumat, 10 Maret 2017

Ketika Perempuan Menanti Realisasi Janji Manis Jokowi-JK


Salah satu penyebab utama kegagalan rezim Jokowi-Jusuf Kalla dalam memenuhi hak-hak perempuan adalah ketimpangan perlindungan hukum dan arah pembangunan. Pemerintah dan DPR masih mengabaikan kalangan perempuan. Indikasinya tampak dari tarik-ulur pembahasan Rancangan Undang-Undang terkait kesejahteraan perempuan belum tuntas.

Pemerintah dan DPR belum mencapai mufakat perihal pembahasan RUU Penyandang Disabilitas, RUU Perlindungan Nelayan, RUU Pekerja Rumah Tangga, RUU Kekerasan Seksual, RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender dan RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN). Beberapa peraturan penting terkait perempuan semisal Amandemen UU Perkawinan belum menjadi prioritas. Political will ini yang menerbitkan ketimpangan yang bermuara pada kekerasan dan diskriminasi yang terjadi pada para perempuan di Indonesia.

Kendati konstitusi negara mengamanatkan penghapusan segala bentuk diskriminasi, faktanya masih jauh panggang dari api. Peraturan Presiden Nomor 2 tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) merumuskan kebijakan perlindungan sosial yang komprehensif untuk mengerus kemiskinan dan ketimpangan, tetapi dampaknya bagi perempuan belum signifikan. Secara internasional, mengerus ketimpangan pembangunan terhadap perempuan merupakan agenda pembangunan 2030 melalui Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Kamis, 05 Januari 2017

Hoax Itu "Berjudul" Jokowi Presiden Terbaik se-Asia Pasifik 2016


Pemberitaan terkait prestasi Presiden Joko Widodo yang didapuk sebagai pemimpin terbaik di Asia Pasifik versi Bloomberg, ternyata hoax alias tidak benar. Sang penulis artikel, David Tweed, mengaku tidak pernah menuliskan hal tersebut dalam artikel yang berjudul “Who’s Had the Worst Year?”

Sebelumnya,sejumlah media di Indonesia menggandang-gandang berita bahwa Jokowi didapuk  Bloomberg  sebagai pemimpin terbaik Asia Pasifik. Jokowi bahkan mengalahkan prestasi PerdanaMenteri India Narendra Modi dan Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull.

Belakangan, klaim itu dibantah David Tweed. Melalui akun twitter @DavidTweed, ia menjawab pertanyaan akun @dwinugr95989941 pada 1Januari 2016.

"Have you ever said that Joko Widodo is the best leader in Asia for 2016? It's rumoured here in Indonesia (Benarkah Kamu menyebut Joko Widodo sebagai pemimpin terbaik di Asia pada 2016? Berita itu telah menjadi rumor di Indonesia?" tanya @dwinugr95989941.

“No (tidak),” jawab @DavidTweed singkat sehari kemudian.

“Ok.thanks. Crystal clear (baik. Terimakasih. Sangat jelas),” balas @dwinugr95989941lagi.