Jumat, 28 April 2017

Mengulik Ahok Si Finding Nemo


Menarik mencermati nota pembelaan Finding Nemo yang dibacakan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dalam persidangan dugaan penodaan agama kemarin. Ahok mengibaratkan dirinya sebagai Nemo, ikan badut mungil, yang menginspirasi ikan-ikan besar yang terjebak jaring nelayan. Berkat arahan Nemo, ikan-ikan besar itu bisa kompak berenang ke bawah, dan akhirnya tiang penyanggah jaringnya patah.

Adegan ini menjadi ilustrasi Ahok untuk menjelaskan apa yang dilakukannya selama memerintah di DKI Jakarta. Ahok mengaku terkadang sekelompok orang di negeri ini memang salah arah, sehingga korupsi merajalela, anggaran dimainkan. Sehingga, mau tak mau, Ahok harus teriak agar salah arah itu terhenti. Agar pembangunan terhadap rakyat dapat terus berjalan.

Sebagai seorang ibu rumah tangga, saya kerap menjadikan film Finding Nemo sebagai bahan pembelajaran bagi anak saya. Dan karenanya, saya mual dengan ilustrasi ini. Saya pikir ilustrasi ini lebay tak ketulungan, dan maaf saja, bertolakbelakang dengan apa yang Ahok lakukan.

Senin, 24 April 2017

Kartini, Rakus dan Mega Korupsi E-KTP


Apa kaitan antara Raden Ajeng Kartini dan mega korupsi e-KTP? Tidak ada kecuali saling meniadakan. Kartini adalah pahlawan nasional, sementara mega korupsi e-KTP adalah kejahatan luar biasa. Sehingga secara logika, Kartini pasti menolak mega korupsi e-KTP.

Penolakan Kartini terhadap korupsi oleh pejabat negara pada zamannya tergurat jelas dalam suratnya pada sahabat penanya, Estella Zeehandelar, di  Belanda, 12 Januari 1900.

"Kejahatan yang memang ada atau lebih baik yang merajalela ialah hal menerima hadiah yang saya anggap sama jahat dan hinanya dengan merampas barang-barang milik rakyat kecil.”

Tetapi, rupanya korupsi di zaman Kartini lebih manusiawi ketimbang korupsi di zaman sekarang. Korupsi di era Kartini ditujukan guna mencukupi kehidupan akibat digaji kecil oleh pemerintah kolonial Belanda. Begitu kecilnya gaji mereka sehingga Kartini menyebut:
“hampir merupakan suatu keajaiban bagaimana mereka mencukupi keperluan hidup dengan gaji yang sedikit itu.”

Kamis, 20 April 2017

Negeri Drama yang Menyalahkan Masa Lalu


Sudah berkian bulan ini saya memiliki hobi mengumpat. Barangkali hal ini akibat tayangan televisi dan media sosial yang melulu diramaikan politik, SARA, kegaduhan DPR dan DPD. Drama politik ini sering lebih ciamik ketimbang FTV di pagi hari yang membuat saya mual. Sepertinya, para politisi ini memiliki bakat menjadi aktor drama Korea. Jangan-jangan, mereka juga seperti saya, seorang ibu rumah tangga yang tergila-gila drama Korea?

Perlu dicatat, drama korea tidak melulu berefek negatif. Ada hal-hal yang bisa dipelajari dalam drama korea. Setiap kali menonton drama Korea, saya membayangkan DKI Jakarta akan secanggih itu. Ke mana-mana naik transportasi umum, bisa jalan kaki di trotoar, banyak bangunan fenomenal, banyak taman untuk sosialisasi para warganya, punya rusun untuk masyarakat menengah ke bawah yang fasilitasnya tidak jauh-jauh amat dari apartemen para the have. Dalam drama Korea orang miskin tidak terkesan miskin-miskin amat. Desain smart city yang sepertinya telah menjadi pembelajaran bagi para pengambil kebijakan.

Tetapi, smart city itu pasti tidak datang ujug-ujug. Saya yakin ada sesuatu di balik ciamiknya smart city. Pertanyaannya, apakah drama  mencapai keciamikan di Korea dan di Indonesia sama? Karena, demi mengejar keciamikan itu elit-elit di Jakarta juga bermain drama. Penggusuran demi penggusuran terhadap orang miskin di DKI Jakarta membuat orang-orang menangis, serupa sewaktu menonton drama Korea. Bedanya, drma Korea hanya membuat perut mual sesaat, sementara drama penggusuran ini membuat orang miskin bertambah miskin.