Jumat, 28 April 2017

Mengulik Ahok Si Finding Nemo


Menarik mencermati nota pembelaan Finding Nemo yang dibacakan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dalam persidangan dugaan penodaan agama kemarin. Ahok mengibaratkan dirinya sebagai Nemo, ikan badut mungil, yang menginspirasi ikan-ikan besar yang terjebak jaring nelayan. Berkat arahan Nemo, ikan-ikan besar itu bisa kompak berenang ke bawah, dan akhirnya tiang penyanggah jaringnya patah.

Adegan ini menjadi ilustrasi Ahok untuk menjelaskan apa yang dilakukannya selama memerintah di DKI Jakarta. Ahok mengaku terkadang sekelompok orang di negeri ini memang salah arah, sehingga korupsi merajalela, anggaran dimainkan. Sehingga, mau tak mau, Ahok harus teriak agar salah arah itu terhenti. Agar pembangunan terhadap rakyat dapat terus berjalan.

Sebagai seorang ibu rumah tangga, saya kerap menjadikan film Finding Nemo sebagai bahan pembelajaran bagi anak saya. Dan karenanya, saya mual dengan ilustrasi ini. Saya pikir ilustrasi ini lebay tak ketulungan, dan maaf saja, bertolakbelakang dengan apa yang Ahok lakukan.


Selayak Jokowi yang mengaku tidak mengenal dunia hokage-nya Naruto,  saya sangsi Ahok benar-benar mengenal karakter Nemo, Melvin atau Dorry. Saya ragu Ahok menonton film Finding Nemo hingga selesai. Sebab, jika itu dilakukannya, Ahok akan menyadari betapa bedanya dia dengan Nemo yang imut itu.

Nemo adalah ikan kecil pemberani. Ia punya tekad kuat. Tetapi keberanian dan tekad ini bukan buat dirinya seorang, melainkan untuk kepentingan bersama. Ketika Nemo merengkuh kerikil untuk mengotori isi akuarium, ia bukan bergerak untuk dirinya sendiri, tetapi demi menyukseskan skenario melarikan diri kawanan ikan di akuarium itu. Ia menyabung nyawa untuk kepentingan dirinya dan rekan-rekannya.

Baca juga  Karena Rakyat Tak Bisa Makan Jalan Tol! Catatan Model Pembangunan SBY-Jokowi
Nemo bukan ikan kecil yang sombong, arogan dan gandrung serampangan. Pengalaman “diculik” si dokter gigi sampai akhirnya berhasil kabur lewat saluran pembuangan, tidak membuatnya sombong dan tinggi hati. Nemo tetap ikan kecil yang ramah dan pandai bergaul.

Bandingkan tabiat Nemo dengan perilaku Ahok yang arogan dan serampangan ngomong itu? Cermati tabiat Gubernur DKI Jakarta ini baik-baik. Betapa, perilakunya acap berubah-ubah sesuai dengan kondisi politik yang dihadapinya. Sesaat dia bisa mempermalukan parpol dengan tudingan mahar dan aksi 1 juta KTP, tetapi di lain waktu dia bisa bermulut manis kepada koalisi parpol pengusungnya.

Sesaat Ahok bisa “memerintahkan” mencopot jabatan seorang Kepala Sekolah, tetapi sampai Si Kepala Sekolah menang di tingkat kasasi, Ahok ogah meminta maaf. Jangan lupakan beberapa ibu-ibu yang pingsan akibat kekerasan verbal yang Ahok lancarkan, termasuk menghina seorang ibu-ibu sebagai “maling”. Sejak kapan si imut Nemo menjadi pemberang seperti ini?

Lebih lucu jika dikaitkan dengan seruan menggerus mereka yang “salah arah”. Pertanyaannya, siapa yang sebenarnya salah arah? Sepanjang Pilkada tempo hari, sama-sama kita saksikan mencuatkan parade “kesalahan” Ahok. Mulai dari RS Sumber Waras, Reklamasi, membeli aset negara dengan uang dari APBD DKI Jakarta, dana diskresi yang tidak masuk APBD, dan sebagainya. Betul, hitam-putihnya harus diputus pengadilan. Tetapi hal ini menggambarkan Ahok bukan seorang Santo. Dia tidak luput dari kesalahan.

Baca juga  Menakar Peluang Djarot di Pilgub Sumut 2018
Boleh saja berkilah, semuanya adalah rekayasa politik aktor-aktor bertangan jahat. Tetapi toh Sunny Tanuwidjaya yang mengaku berkarib dengan Ahok kena ciduk KPK dalam kasus korupsi reklamasi.

Yang terang benderang tentu penggusuran bantaran Kali Ciliwung. Masyarakat yang sudah puluhan tahun tinggal di sana, membangun bata demi bata kediamannya, mendadak harus jadi pengontrak. Laporan LBH Jakarta menemukan mereka yang tergusur menjadi semakin miskin saat bermukim di rusunawa. Cermati pula penggusuran di Bukit Duri. Belum putus prosesnya di pengadilan, Ahok sudah main gusur. Tragisnya, belakangan tuntutan masyarakat Bukit Duri ini dikabulkan di pengadilan. Banyak lagi kasus-kasus serupa.

Intinya, saya pikir Ahok kelewat lebay saat mengindentikan diri dengan Nemo. Barangkali Ahok hendak mencusi citra pemberang menjadi seimut dan selugu Nemo. Mungkinkah itu? Belajar dari tangisan Ahok di pengadilan yang dilanjutkan dengan pelecehannya kepada ketua umum MUI KH. Ma’ruf Amin, saya menyangsikannya.

Barangkali kalau Melvin, ayah si Nemo tahu, bisa-bisa ia juga akan memrotes seperti saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar