Senin, 05 Februari 2018

Cuci Tangan Ala PAN Pasca Tersangkanya Zumi Zola


Miris hati saya membaca tanggapan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, atas status tersangka yang kini disandang Gubernur Jambi, Zumi Zola. Kita sama-sama tahu Zumi Zola adalah Ketua DPW PAN Jambi yang terjerat kasus dugaan korupsi RAPBD Provinsi Jambi tahun 2018.
Kecuali terkejut, Zulkifli juga menyebut perkara gaji kepala daerah yang kecil—cuma Rp 6.6 juta katanya. Padahal untuk maju di pilkada, seseorang membutuhkan modal yang sangat besar. Melalui tanggapan ini, terkesan Zulkifli—yang juga adalah Ketua MPR—hendak membangun narasi korupsi kepala daerah adalah wajar sebab gaji mereka kecil sementara modal pilkadanya amat besar.
Dari sini kita bisa membaca ada kesan rasionalitas yang dikemukakan untuk membenarkan perilaku korup. Ini tak ubahnya istilah “apes” yang juga tren apabila ada pejabat yang terciduk. Maksudnya perilaku korup itu wajar saja—salah, tapi wajar saja—dan apabila ada pejabat yang terciduk, ya sedang sial saja.
Bukankah ini pertanda ada moralitas yang sedang jungkir-balik? Kita tahu itu adalah kesalahan, tapi karena banyak yang melakukan, ya dilakukan juga. Sebuah dalih dari perilaku tak bermoral.


Lagipula kalau hanya asumsi ini yang dipertahankan, solusinya mudah saja. Jangan mau jadi kepala daerah. Siapa suruh Zumi Zola--misalnya--mau jadi Gubernur Jambi kalau motivasi utamanya adalah besarnya gaji?
Atau bagaimana bila dibalik? Kita biarkan mekanisme pemilihan kepala daerah tetap mahal, tapi gaji kepala daerah kita naikan agar mereka tidak korupsi? Bisa saja kan?
Tetapi pertanyaannya, apakah kepala daerah itu jabatan untuk mengeruk keuntungan materi? Apakah kepala daerah itu adalah pedagang dalam bentuk lain yang berprinsip: sekian saya keluarkan, maka harus lebih besar dana yang saya dapatkan? Jika iya, betapa mengerikan!
Saya sepakat bahwa perbaikan mekanisme pemilihan kepala daerah di Indonesia perlu dilakukan. Tetapi, jangan jadikan hal ini sebagai pembenaran kepala daerah berperilaku korup. Jangan pula berpikir perbaikan ini agar kepala daerah yang terpilih itu bisa cepat kembali modal kampanye setelah memerintah. Pilkada tidak boleh jadi alat politik transaksional. Pilkada harus jadi media untuk membuka kesempatan bagi anak-anak bangsa yang terbaik untuk menjadi pemimpin.
Motivasi utama menjadi kepala derah semestinya lebih karena panggilan jiwa untuk membangun kehidupan publik yang lebih baik. Bukan hanya untuk bekerja mencari uang semata, apalagi motif mengejar kekuasaan dan popularitas. Benar, uang dan modal sangat penting untuk para calon kepala daerah, tetapi lebih penting lagi adalah motivasi pribadi untuk mengabdi kepada kepentingan publik, bangsa dan negara.
Sebagai seorang pejabat publik, saya berasumsi Zulkifli Hasan pasti  paham dengan landasan normatif seseorang menjadi pejabat. Karena itu, saya keheranan apabila yang dianggapnya sebagai dasar dari maraknya korupsi para kepala daerah adalah mahalnya biaya kampanye Pilkada dan kecilnya gaji pejabat daerah! Betapa pragmatis dan untung-ruginya pemikiran ini.
Karena itu saya berasumsi penyataan Zulkifli tak lebih dari manuver penyelamatan citra PAN. Maklum kita sedang di tahun politik—ada pilkada serentak 2018 dan pemilu nasional 2019. KPK akan mati-matian membuktikan perilaku korup Zumi Zola di sidang pengadilan. Proses ini sedikit banyaknya akan berimbas negative terhadap nama baik PAN. Karena itu, Zulkifli pakai virus pembenaran tadi. Ini salah biaya kampanye Pilkada yang besar sementara gaji Zumi Zola selaku Gubernur Jambi cuma secuil.
Menurut saya, ini manuver cuci tangan yang tak elok!
pernah dimuat di politiktoday

Tidak ada komentar:

Posting Komentar