Miris hati saya membaca tanggapan Ketua Umum PAN
Zulkifli Hasan, atas status tersangka yang kini disandang Gubernur Jambi, Zumi
Zola. Kita sama-sama tahu Zumi Zola adalah Ketua DPW PAN Jambi yang terjerat
kasus dugaan korupsi RAPBD Provinsi Jambi tahun 2018.
Kecuali terkejut, Zulkifli juga menyebut perkara
gaji kepala daerah yang kecil—cuma Rp 6.6 juta katanya. Padahal untuk maju di
pilkada, seseorang membutuhkan modal yang sangat besar. Melalui tanggapan ini,
terkesan Zulkifli—yang juga adalah Ketua MPR—hendak membangun narasi korupsi
kepala daerah adalah wajar sebab gaji mereka kecil sementara modal pilkadanya
amat besar.
Dari sini kita bisa membaca ada kesan rasionalitas
yang dikemukakan untuk membenarkan perilaku korup. Ini tak ubahnya istilah
“apes” yang juga tren apabila ada pejabat yang terciduk. Maksudnya perilaku
korup itu wajar saja—salah, tapi wajar saja—dan apabila ada pejabat yang
terciduk, ya sedang sial saja.
Bukankah ini pertanda ada moralitas yang sedang
jungkir-balik? Kita tahu itu adalah kesalahan, tapi karena banyak yang
melakukan, ya dilakukan juga. Sebuah dalih dari perilaku tak bermoral.
Lagipula kalau hanya asumsi ini yang dipertahankan, solusinya mudah saja. Jangan mau jadi kepala daerah. Siapa suruh Zumi Zola--misalnya--mau jadi Gubernur Jambi kalau motivasi utamanya adalah besarnya gaji?
Lagipula kalau hanya asumsi ini yang dipertahankan, solusinya mudah saja. Jangan mau jadi kepala daerah. Siapa suruh Zumi Zola--misalnya--mau jadi Gubernur Jambi kalau motivasi utamanya adalah besarnya gaji?
Atau bagaimana bila dibalik? Kita biarkan mekanisme
pemilihan kepala daerah tetap mahal, tapi gaji kepala daerah kita naikan agar
mereka tidak korupsi? Bisa saja kan?
Tetapi pertanyaannya, apakah kepala daerah itu
jabatan untuk mengeruk keuntungan materi? Apakah kepala daerah itu adalah
pedagang dalam bentuk lain yang berprinsip: sekian saya keluarkan, maka harus
lebih besar dana yang saya dapatkan? Jika iya, betapa mengerikan!
Saya sepakat bahwa perbaikan mekanisme pemilihan
kepala daerah di Indonesia perlu dilakukan. Tetapi, jangan jadikan hal ini
sebagai pembenaran kepala daerah berperilaku korup. Jangan pula berpikir
perbaikan ini agar kepala daerah yang terpilih itu bisa cepat kembali modal
kampanye setelah memerintah. Pilkada tidak boleh jadi alat politik
transaksional. Pilkada harus jadi media untuk membuka kesempatan bagi anak-anak
bangsa yang terbaik untuk menjadi pemimpin.
Motivasi utama menjadi kepala derah semestinya lebih
karena panggilan jiwa untuk membangun kehidupan publik yang lebih baik.
Bukan hanya untuk bekerja mencari uang semata, apalagi motif mengejar
kekuasaan dan popularitas. Benar, uang dan modal sangat penting untuk para
calon kepala daerah, tetapi lebih penting lagi adalah motivasi pribadi untuk
mengabdi kepada kepentingan publik, bangsa dan negara.
Sebagai seorang pejabat publik, saya berasumsi
Zulkifli Hasan pasti paham dengan landasan normatif seseorang menjadi
pejabat. Karena itu, saya keheranan apabila yang dianggapnya sebagai dasar dari
maraknya korupsi para kepala daerah adalah mahalnya biaya kampanye Pilkada
dan kecilnya gaji pejabat daerah! Betapa pragmatis dan untung-ruginya pemikiran
ini.
Karena itu saya berasumsi penyataan Zulkifli tak
lebih dari manuver penyelamatan citra PAN. Maklum kita sedang di tahun
politik—ada pilkada serentak 2018 dan pemilu nasional 2019. KPK akan mati-matian
membuktikan perilaku korup Zumi Zola di sidang pengadilan. Proses ini sedikit
banyaknya akan berimbas negative terhadap nama baik PAN. Karena itu, Zulkifli
pakai virus pembenaran tadi. Ini salah biaya kampanye Pilkada yang besar
sementara gaji Zumi Zola selaku Gubernur Jambi cuma secuil.
Menurut saya, ini manuver cuci tangan yang tak elok!
pernah dimuat di politiktoday
Tidak ada komentar:
Posting Komentar