Rabu, 31 Januari 2018

Kesombongan Edy Rahmayadi di Pilgub Sumut

Sombong atau tinggi hati merupakan salah satu sifat yang tercela. Sejak bocah kita selalu dididik untuk menjauhi sifat sombong. Biasanya nasihat ini juga diikuti dengan cerita diusirnya iblis dari surga karena kesombongannya kepada Nabi Adam.
Dalam dunia politik, utamanya menjelang kontestasi Pilkada seperti sekarang, sikap sombong kerapkali dijadikan taktik untuk mengembosi semangat pihak lawan. Dengan masifnya perang urat syaraf di media sosial, taktik sombong dimanfaatkan untuk membangun propaganda bahwa potensi kemenangan pihak lawan hampir-hampir mustahil.
Taktik ini tentu terkait dengan kultur masyarakat Indonesia yang cenderung suka pada pemenang, ingin berada bersama para pemenang. Sehingga mereka yang potensi menangnya paling besar cenderung lebih mudah meraup dukungan publik.
Taktik sombong ini kita temukan dari pernyataan bacagub Sumatera Utara, Edy Rahmayadi. Dia tampil begitu percaya diri untuk memenangkan Pilgub Sumut Juni mendatang. Dukungan enam partai jadi basisnya awalnya untuk mengklaim kemenangan; basis yang prematur tentu saja


“Kalau dihitung pakai matematik, apapun dalilnya, harusnya KPU sudah melantik saya jadi gubernur. Tapi ternyata harus menunggu sampai tanggal 27 Juni nanti, waktu pemilihan,” ungkap Edy dengan sombong itu waktu itu.
Sah-sahnya menggunakan taktik sombong. Namun bukan berarti tidak ada risiko. Rakyat Indonesia cenderung tidak menyukai sosok sombong, dalam bidang apapun. Rakyat kita menyukai sosok yang santun dan apa adanya.
Karena itu, taktik sombong biasanya tidak diletupkan oleh kandidat. Biasanya dititipkan kepada tim suksesnya. Atau lewat klaim via survey persepsi publik, yang dikampanyekan secara santun. Dengan cara ini potensi menang muncul, tanpa harus menghancurkan citra diri kandidat—dicitrakan sebagai figure sombong.
Lagipula kalau matematikanya dukungan parpol, Edy Rahmayadi harus belajar bahwa politik bukanlah rumus matematik. Telisiklah kisah Ahok-Djarot dalam Pilgub DKI Jakarta 2017. Paslon ini mendapat dukungan parpol terbesar, dan potensi kemenangan mereka via survey pun nomor wahid. Nyatanya, mereka tumbang juga.
Fenomena serupa juga menimpa Megawati pada Pilpres 2004, dan Prabowo Subianto pada Pilpres 2014. Keduanya terjungkang meskipun mendapat dukungan parpol terbesar. Megawati terjungkal oleh kesantunan Susilo Bambang Yudhoyono. Sementara Prabowo dipercundangi Jokowi yang berhasil menampilkan citra apa adanya.
Pertanyaannya, kenapa Edy Rahmayadi menggunakan taktik sombong ini? Saya menilai barangkali Edy belum bisa membedakan antara strategi militer dan strategi politik. Keduanya jelas berbeda. Propagandanya pun berbeda. Pertarungan politik bukan baku-tembak, melainkan sebanyak-banyaknya meraup dukung publik—kaum yang berada di luar pihak yang bertikai itu. Citra yang dibangun bukan cuma citra yang bisa menggentarkan lawan, tapi jauh lebih penting citra yang diinginkan publik. Agaknya ini yang silap dari taktik Edi kali ini.
Apakah ini menandakan Edy masih mentah sebagai politikus? Bisa jadi!
sumber: politiktoday

Tidak ada komentar:

Posting Komentar