Selasa, 21 November 2017

Terimakasih Pak SBY


Kasus Setya Novanto adalah ironis bagi bangsa Indonesia. Hiruk-pikuk ini bukan hanya di tanah air, bahkan media-media internasional pun turut menyiarkan drama proses hukum Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Partai Golkar ini. (baca: media asing menertawakan setya novanto)

Namun, di tengah hiruk-pikuk itu, rupanya ada satu kabar gembira: Indonesia dapat trofi The Global Champion of Disaster Risk Reduction dari PBB. Memang ini kabar lama, kejadiannya tepat 6 tahun lalu. Serah terimanya dilakukan oleh mantan Sekjen PBB Ban Ki-moon kepada mantan Presiden RI SBY.

Kabar ini muncul begitu saja di lini masa Facebook saya. Tepatnya dari akun Fanpage Facebook SBY yang belakangan ini gencar menyiarkan kolom #SBYMingguIni.


Sekali lagi, ini adalah kabar lama. Kendati begitu, setidaknya kabar ini dapat membawa optimisme kita dalam menatap masa depan bangsa. Bahwa Indonesia bukan hanya kesohor oleh hal-hal yang serba negatif di dunia internasional. Betapa ada masa-masa di mana Indonesia tampil terhormat di pentas dunia. Tampil karena keberhasilannya, bukan akibat manuver ciamik para koruptornya.

Kembali ke pokok bahasan, tidak bisa tidak, saya amat mengakui kepiawaian SBY dalam mengurangi risiko bencana di Indonesia. Siapakah di antara kita yang bisa melupakan tragedi kemanusiaan yang menimpa Aceh dan Nias? Lebih-lebih, Indonesia saat itu masih serba kekurangan. Sarana transportasi udara Indonesia untuk misi-misi kemanusiaan semacam ini amat terbatas karena sepanjang Orde Baru hingga kejadian itu, Indonesia terkena embargo alat utama sistem persenjataan (alutsista).

Satu kebijakan SBY kala itu adalah: membuka Aceh dan Nias untuk menerima sokongan internasional. Indonesia tetap menjadi koordinatornya, tetapi bantuan internasional berikut tim kemanusiaan yang dikirimkan diterima dengan tangan terbuka. Alhasil, proses tanggap darurat Aceh adalah operasi militer non tempur terbesar dalam sejarah dunia modern.

Sadar bahwa Indonesia belum memiliki sumberdaya yang mencukupi, SBY pun bergerilya untuk mengetuk nurani dunia internasional. Tindakan ini berbuah manis. Konon masyarakat internasional bahu-membahu sehingga US$ 7 miliar dollar bisa dikucurkan untuk membangun Aceh dan Nias dan baru. Belakangan, proses rehabilitasi Aceh semakin manis dengan kembalinya para aktivis GAM  ke pangkuan ibu pertiwi.

Namun, catatan emas SBY dalam mengurangi risiko bencana di Indonesia bukan hanya kasus Aceh. Ada pula UU Penanggulangan Bencana---masih jarang negara-negara di dunia yang memiliki UU ini. Juga membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) hingga tingkat kota dan kabupaten. Jangan lupa, SBY termasuk Presiden yang paling getol bicara mitigasi bencana. Pengurangan risiko bencana menjadi satu hal yang penting, yang diarusutamakan oleh SBY, mulai dari level kebijakan pemerintah pusat hingga pemerintah daerah.

SBY percaya bahwa pemanasan global telah meningkatkan risiko bencana di dunia, dan ini harus dicegah. Karena itu SBY mengkampanyekan gerakan one man on tree (satu orang satu pohon). Hampir seusai peresmian, SBY pasti menanam pohon.  Sebagian orang akan tertawa-tawa. Menyebut ini bukan sesuatu yang penting. Padahal, masa depan dunia sangat tergantung pada kelestarian lingkungan, pada hutan belantara yang mencuci efek rumah kaca.

Kelestarian lingkungan adalah warisan untuk anak cucu kita. Karena itu, untuk segala cemooh, SBY dengan santun menanggapinya:

Saya tidak ingin di masa yang akan datang, menjelaskan kepada cucu saya, Almira, bahwa kami tidak bisa menyelamatkan hutan dan orang-orang yang tergantung pada hal itu. Saya tidak ingin menceritakan berita sedih bahwa harimau, badak, dan orangutan lenyap seperti dinosaurus. (SBY pada Konferensi Hutan Indonesia, 27 September 2011)

Indonesia pun patut berbangga. Di era SBY, Indonesia memelopori Konferensi Perubahan Iklim PBB berhasil merumuskan Bali Roadmap, yang kemudian menjadi pijakan dunia untuk merumuskan kesepakatan internasional pengganti Protokol Kyoto yang sudah kadaluarsa. Karena kesepakatan ini SBY sampai dielu-elukan oleh aktivis lingkungan dunia saat bertandang ke New York waktu itu. Mereka membawa spanduk bertulisankan: "Thank You Indonesia and Yudhoyono for supporting Climate Change". (baca: Demo Mahasiswa Harvard Dukung Pidato SBY)

Ini adalah warisan yang ditinggalkan SBY. Harapan kita, tentu Jokowi bisa melanjutkannya, bahkan melakukan terobosan yang lebih baik dari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar