Jumat, 05 Mei 2017

Tarif Listrik, Timses Pilpres dan Duit Proyek Mercusuar


Tarif Dasar Listrik (TDL) golongan 900 VA kembali naik per 1 Mei 2017 kemarin. Kenaikannya gila-gilaan, nyaris 100 % jika dibandingkan dengan TDL per Januari Rp 774 per KWh dan sekarang mencapai Rp1.352 per KWh.

Sebelumnya, Menteri ESDM Ignasius Jonan pernah menyebut bahwa rata-rata biaya pokok listrik turun. Dari Rp 998 per KWh pada 2015 menjadi Rp 983 per kWh pada 2016. Targetnya, pada tahun ini biaya listrik turun lagi ke angka Rp 950 per kWh. Dengan membandingkan keduanya, kita bisa menyimpulkan bahwa masyarakat Indonesia pengguna TDL golongan 900 VA sudah membayar di atas harga produksi listrik PLN.

Ada beberapa poin penting terkait kenaikan TDL jilid II ini. Pertama, beban hidup masyarakat akan meningkat. Bank Indonesia boleh saja berdalih kenaikan TDL hanya akan mendorong inflasi sesaat, tetapi dampaknya tetap bersifat negatif terhadap perekonomian, khususnya pelaku usaha mikro.


Jangan pikir masyarakat Indonesia pengguna TDL golongan 900 VA semata-mata kalangan pekerja; para pelaku usaha mikro pun kebanyakan tergolong kelas ini. Secara logika, kenaikan ini akan ditumpangkan kepada konsumen. Tetapi dalam kondisi ekonomi yang serba sulit ini sepertinya terlalu berisiko menaikan harga jual. Bisa-bisa, pembeli kabur. Kemungkinan besar, kenaikan ini akan ditanggung oleh para pelaku usaha mikro itu.

Artinya, setiap kenaikan TDL akan meningkatkan beban ekonomi rumah tangga masyarakat, dan berefek pada daya beli yang semakin rendah pula. Jadi semakin tinggi tekanan yang diterima kelompok (masyarakat) bawah, pasti akan berpengaruh pada gini ratio kemiskinan. Karena bagaimanapun beban ekonomi rumah tangga akan meningkat.

Kedua, perkara kemangkusan produksi listrik nasional. Menaikan TDL adalah perkara gampang. Ibarat kata, kalau sudah ditetapkan, mustahil untuk diganggu gugat. Pertanyaan sesungguhnya : sudah sejauh mana peningkatan pelayanan PLN seiring kenaikan TDL tersebut? Intinya, apa yang pelanggan terima dari kenaikan TDL ini? Secara pribadi saya menegaskan, tidak ada perubahan signifikan atas layanan PLN yang saya terima sepanjang Januari-April 2017 ini. Ingat, TDL kali ini sudah di atas harga rata-rata produksi listrik.

Ketiga, sejauh mana BUMN kelistrikan dan pranatanya berinovasi untuk menekan biaya produksi listrik? Pertanyaan ini penting dijawab mengingat BUMN-BUMN kita terkesan dikelola dengan serampangan.

Bayangkan, para tim sukses Jokowi-JK bisa bercokol sebagai komisaris BUMN; kendatipun kompetensi mereka amat jauh dari yang dibutuhkan. Makanya, tidak mengejutkan kalau kemudian santer berita 26 BUMN menderita kerugian. Bagaimana kinerja BUMN bisa meningkat jika pengawasnya adalah politisi yang ditempatkan sebagai balas jasa elit penguasa?

Jujur saya khawatir kenaikan TDL tidak lebih dari kegagalan produsen kelistrikan berinovasi, tetapi dituntut pemerintah untuk berkontribusi maksimal terhadap pendapatan negara. Tidak lebih sebagai jalan pintas mencover defisit APBN akibat proyek-proyek mercusuar pemerintah semata.

Bukankah pemerintah sudah begitu kalap membangun infrastruktur sehingga pos-pos anggaran lain dipreteli? Sebelum subsidi listrik digunting, pemerintah sudah menurunkan anggaran pendidikan nasional dengan alasan penghematan besar-besaran.

Padahal, yang seharusnya dilakukan adalah mengefisienkan dan mengefektifkan operasional produsen listrik nasional sehingga biaya produksi bisa ditekan. Berpijak pada pengakuan Menteri ESDM di atas, upaya ini masih belum moncer. Penurunan rata-rata biaya pokok listrik sejak 2015-2017 tergolong lambat. Penting bagi pemerintah untuk memastikan inovasi proses produksi agar biaya rata-rata produksi listrik bisa menurun. Karena, kalau cuma sedikit-sedikit menaikan harga, seorang bocah juga bisa. Langkah pertama dengan “orang yang tepat di tempat yang tepat” bukan “timses yang berjasa di tempat yang basah”.

Bagaimanapun, listrik adalah kebutuhan pokok, adalah hajat hidup orang banyak. Sehingga penetapan harganya tidak melulu soal pasar. Jika pemerintah tidak sanggup menekan harganya di bawah harga produksi, minimal jangan melewati harga produksi.

Hal ini penting untuk menjauhkan listrik sebagai komoditas yang diperebutkan oleh swasta.  Kita bisa belajar dari penetapan harga BBM yang selalu menggembor-gemborkan keselarasannya dengan harga minyak dunia. Nyatanya, ketika harga minyak dunia turun, harga BBM di Indonesia tidak lantas tergunting.

politiktoday

Tidak ada komentar:

Posting Komentar