Senin, 24 April 2017

Kartini, Rakus dan Mega Korupsi E-KTP


Apa kaitan antara Raden Ajeng Kartini dan mega korupsi e-KTP? Tidak ada kecuali saling meniadakan. Kartini adalah pahlawan nasional, sementara mega korupsi e-KTP adalah kejahatan luar biasa. Sehingga secara logika, Kartini pasti menolak mega korupsi e-KTP.

Penolakan Kartini terhadap korupsi oleh pejabat negara pada zamannya tergurat jelas dalam suratnya pada sahabat penanya, Estella Zeehandelar, di  Belanda, 12 Januari 1900.

"Kejahatan yang memang ada atau lebih baik yang merajalela ialah hal menerima hadiah yang saya anggap sama jahat dan hinanya dengan merampas barang-barang milik rakyat kecil.”

Tetapi, rupanya korupsi di zaman Kartini lebih manusiawi ketimbang korupsi di zaman sekarang. Korupsi di era Kartini ditujukan guna mencukupi kehidupan akibat digaji kecil oleh pemerintah kolonial Belanda. Begitu kecilnya gaji mereka sehingga Kartini menyebut:
“hampir merupakan suatu keajaiban bagaimana mereka mencukupi keperluan hidup dengan gaji yang sedikit itu.”


Sebaliknya, korupsi di zaman sekarang terjadi akibat nafsu keserakahan. Buktinya pelaku korupsi adalah kalangan yang sebenarnya sudah memiliki pendapatan yang cukup -DPR, DPD, hakim konstitusi hingga pejabat daerah.

Ketamakan manusia telah ada sejak manusia mengawali jejaknya di muka bumi. Kisah seorang Qabil putra nabi Adam yang akibat serakah sehingga membunuh Habil, saudaranya sendiri. Sehingga wajar bila ada yang meyebut rakus adalah atribut alamiah dari umat manusia. Tidak seorang pun luput dari sifat rakus. Rakus tegak bersading dengan marah, iri, merasa sepi, rendah diri, sombong dan lainnya. Masalah besarnya hanya pada dampaknya. Rakus berkenaan dengan upaya mengambil sumber daya eksternal sebanyak-banyaknya bagi diri sendiri kendatipun mencelakakan orang lain; sebaliknya atribut-atribut lainnya lebih bersifat internal seseorang.

Naluri ini yang menerbitkan ungkapan manusia memang cenderung menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus), di mana kerap korbannya  adalah orang-orang yang paling lemah di masyarakat.  Saking bermasalahnya karakter serakah ini hingga Mahatma Gandhi pernah menyebut “Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan kita semua, namun tidak cukup untuk memenuhi keinginan segelintir kecil manusia yang serakah.”

Sebagai atribut dasar manusia, rakus tidak bisa digerus; sehingga korupsi yang meruyak kini pun bukan sesuatu yang luar biasa. Permasalahannya sekarang adalah bagaimana mengelola sikap tamak ini sehingga tidak merugikan orang lain?

Di Amerika sekalipun, pernah terjadi peristiwa Enron, perusahaan ke tujuh terbesar di USA yang jatuh bangkrut. Kebangkrutan yang paling parah sepanjang sejarah Amerika.  Enron affair telah mempermalukan Bush dan Dick Chenney, karena Enron merupakan penyumbang  terbesar dana kampanye bagi Partai Republik. Yang menjadi pembeda adalah, bagaimana sang Presiden lantas menanganinya.  Bagaimana mengelola kebobrokan yang terlanjur terbuka di publik, sehingga tidak semakin meluas.  Bagaimana mengelolanya, sehingga bisa diredam dan selesai.  Itu saja masalahnya.

Pada titik ini kita bisa melihat suatu kepemimpinan dan tata kelola yang baik. Di sini seni memimpin berperan penting dalam mengelola manusia yang memiliki sifat dasar rakus. Hanya ada dua cara, yakni dikelola dengan baik atau dikelola amburadul di mana hukum rimba berlaku.

Kepemimpinan adalah kemampuan menjaga posisi tetap berada “in-between”, di antara kedua kutub posisi tadi –teratur dan amburadur.  Di sini kemampuan pemimpin diuji.  Apa dia benar-benar dapat bersikap adil,  atau malah mendekati salah satu kutub? Keduanya perlu diwaspadai. Bila bandul berat ke teratur artinya penyelenggaraan pemerintahan cenderung otoriter. Sebaliknya, apabila bandul berat ke amburadul maka kelihatan seperti demokratis,  tetapi sudah pada batas yang tipis dari anarkis.

Pertanyaannya sekarang, pilihan apa yang akan diambil oleh pemerintah? Untuk itu, sebagai penutup, ada baiknya saya kutip kembali surat Kartini untuk sahabatnya itu.
“Tetapi, saya tidak boleh hanya menyalahkan hanya berdasarkan kenyataan-kenyataan begitu saja. Saya juga harus memperhatikan keadaan para pelaku kejahatan itu.” 

Setidaknya Kartini telah mencoba, bagaimana dengan kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar