Jumat, 10 Maret 2017

Ketika Perempuan Menanti Realisasi Janji Manis Jokowi-JK


Salah satu penyebab utama kegagalan rezim Jokowi-Jusuf Kalla dalam memenuhi hak-hak perempuan adalah ketimpangan perlindungan hukum dan arah pembangunan. Pemerintah dan DPR masih mengabaikan kalangan perempuan. Indikasinya tampak dari tarik-ulur pembahasan Rancangan Undang-Undang terkait kesejahteraan perempuan belum tuntas.

Pemerintah dan DPR belum mencapai mufakat perihal pembahasan RUU Penyandang Disabilitas, RUU Perlindungan Nelayan, RUU Pekerja Rumah Tangga, RUU Kekerasan Seksual, RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender dan RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN). Beberapa peraturan penting terkait perempuan semisal Amandemen UU Perkawinan belum menjadi prioritas. Political will ini yang menerbitkan ketimpangan yang bermuara pada kekerasan dan diskriminasi yang terjadi pada para perempuan di Indonesia.

Kendati konstitusi negara mengamanatkan penghapusan segala bentuk diskriminasi, faktanya masih jauh panggang dari api. Peraturan Presiden Nomor 2 tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) merumuskan kebijakan perlindungan sosial yang komprehensif untuk mengerus kemiskinan dan ketimpangan, tetapi dampaknya bagi perempuan belum signifikan. Secara internasional, mengerus ketimpangan pembangunan terhadap perempuan merupakan agenda pembangunan 2030 melalui Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).


Dampaknya, pekerjaan rumah bagi pembangunan yang memihak perempuan masih harus digenjot. Terkait hal itu, saya mencatat beberapa isu penting yang sebaiknya diprioritaskan oleh rezim Jokowi-JK. Pertama, Pelayanan publik terutama di kawasan terpencil. Buruknya akses kehidupan mereka, banyaknya kekerasan seksual dan kekerasan psikis dan fisik yang dialami perempuan di wilayah-wilayah terpencil masih menghantui perempuan Indonesia. Terlebih, dalam banyak kasus, akibat minimnya kepemilikan identitas, KTP, akta kelahiran, akta perkawinan dan lainya, kerap dijadikan alasan untuk tidak memberi pelayanan publik bagi perempuan, anak dan kelompok-kelompok marginal dalam mendapatkan pelayanan publik di kawasan tersebut.

Kedua, kekerasan terhadap perempuan. Data Komnas Perempuan mencatat terjadi 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2016. Celakanya, kasus-kasus itu semakin kompleks, dengan pola dan tingkat kekerasan yang beragam. Sekilas saja, kita maklum kemampuan pemerintah untuk menanggapi perubahan itu masih ketinggalan. Salah satu yang sedang tren adalah kekerasan dan kejahatan cyber yang amat rumit pola kasusnya. Dari pembunuhan karakter, serangan seksual di dunia maya yang berdampak langsung dan berjangka panjang pada korban. Pelakunya sering sulit dideteksi, sementara tanggapan  dan perlindungan hukum belum memadai, karena disederhanakan menjadi ranah UU Informasi dan Transaksi Elektronik.

Ketiga, diskriminasi penyandang disabilitas perempuan. Diskriminasi dan kekerasan seksual kepada penyandang disabilitas perempuan kian mengejala, seiring mengeliatnya upaya memasukkan layanan disabilitas pada lembaga-lembaga layanan. Kekerasan seksual pada perempuan dengan disabilitas terjadi karena asumsi bahwa disabilitas adalah makhluk a-seksual atau menstigma bahwa disabilitas (terutama disabilitas intelektual) memiliki kebutuhan seksual yang berlebih, sehingga melanggengkan praktek kekerasan seksual yang terjadi pada mereka.

Keempat, buruh perempuan. Kekerasan, kejahatan seksual dan pengabaian hak-hak normatif buruh perempuan jauh dari selesai. Segudang masalah masih mengancam PRT migran di luar negeri.Mulai dari situasi kerja yang tidak layak termasuk praktik perbudakan, kekerasan fisik dan seksual, kasus trafiking sampai hukuman mati bagi buruh migran. Ada pula kasus-kasus pelecehan dan kekerasan yang terjadi pada buruh perempuan pabrik, perlindungan bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT), serta rentannya posisi perempuan nelayan.

Kelima, perempuan nelayan. Fenomena di lingkungan nelayan adalah kaum perempuan mengalami beban berlipat. Mereka bekerja mengurus rumah tangga dan mencari nafkah dengan menjual ikan. Ironisnya, keberadaan perempuan nelayan kerap diabaikan dari aras pengakuan profesi. Pekerjaan mereka masih dianggap “bantu-bantu”, sehingga upah yang mereka terima jauh dari kalangan laki-laki. Kerentanan ini juga menimpa anak-anak perempuan nelayan.

Keenam, pendidikan kaum perempuan. Dalam perspektif perempuan tercatat dua masalah serius terkait bidang pendidikan. Pertama, pendidikan formal masih mengalami ketimpangan gender. Misalnya, perbandingan antara anak perempuan dan anak laki-laki dan yang tidak bersekolah di kawasan pedesaan mencapai dua kali lipat. Kedua, pendidikan nonformal-informal yang dilakukan di luar sekolah tidak sesuai dengan tuntutan penghapusan ketimbangan pembangunan bagi kalangan perempuan. Pendidikan itu cenderung berorientasi pada program lifeskill dan tidak diikuti pendidikan yang berorientasi menumbuhkan kesadaran kritis dan memberdayakan perempuan.

Harapan saya, peringatan Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2017 ini dapat menjadi cambuk bagi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Sehingga, pada peringatan Hari Perempuan Internasional di tahun depan, keenam isu ini sudah kian membaik. Saya tidak mau berharap banyak pada tahun 2019, karena itu adalah tahun pemilu. Biasanya, pada periode tersebut, kinerja pemerintah akan melempen karena semangat parpol dan ikhtiar melanggengkan kekuasaan akan semerbak. Pada periodesasi itu boleh disebut, 10 dari janji manis pemerintah besar kemungkinan 11 diantaranya bersifat gombalisasi.

politiktoday


Tidak ada komentar:

Posting Komentar